Aktivis,

Kapitalisme Di Balik Rencana Pemekaran Provinsi Papua Tengah

Juli 13, 2017 Unknown 0 Comments


The act of no choice (1969) "Betreyal)"
Neg.com,-- PEMEKARAN daerah dan provinsi di Papua tak lepas dari hadirnya Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua tahun 2001 yang juga mengatur pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Alasan utama UU Otsus diberikan karena status politik Papua yang tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia dan diberikan secara paksa UU Otsus untuk meredam aspirasi-aspirasi politik pembebasan nasional Papua.

Pada perkembangannya, UU Otsus sampai saat ini masih menuai kontraversi dan sikap penolakan keras dari kalangan rakyat Papua sendiri, terutama dari kalangan gerakan-gerakan pro-kemerdekaan, mahasiswa, dan rakyat kelas bawah. Otsus yang direncanakan akan menyejahterakan rakyat Papua, pada praktiknya gagal total memenuhi tujuannya.

Beberapa akademisi hingga para elit politik Jakarta mengungkapkan bahwa kehidupan orang Papua sudah diatur di dalam UU Otsus. Akibat yang terjadi adalah orang Papua (baca: elit politik lokal) sendiri tidak bisa menjalankan kebijakan itu. Elit-elit politik Papua, sebagai ‘keluarga besar dari kapitalisme’, sampai saat ini terus melakukan kolonisasi atau praktik-praktik penjajahan terhadap orang Papua sendiri.

Lalu apa yang salah dari UU Otsus?

Ada beberapa hal yang sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia soal kebijakan UU Otsus di Papua: pertama, pemerintah Indonesia tetap menolak aspirasi politik rakyat soal pembebasan nasional Papua. Kedua, pemerintah Indonesia memaksakan elit-elit politik lokal untuk terus melaksanakan UU Otsus. Tetapi ketika UU Otsus itu malah balik menindas rakyat Papua sendiri, elit-elit potlik Papua akan disalahkan balik oleh pemerintah Indonesia. Ketiga, pemerintah Indonesia tidak mempertimbangkan sebab dan akibat ketika UU Otsus itu diberikan.Keempat, pemerintah Indonesia tidak melihat dan menganalisis dari sejarah perkembangan rakyat Papua yang hubungannya dengan adanya benturan peradaban antara masa komunal tradisional dengan arus kapitalis yang mengakibatkan elit-elit politik Papua sendiri susah untuk mempraktikkan kebijakan Otonomi yang output-nya adalah uang.

Rakyat Papua sendiri dipecah-pecah oleh pemerintah Indonesia menjadi dua kubu besar: yang pro UU Otsus dan DOB, serta yang kontra. Semua yang pro-UU Otsus dan DOB berasal dari elit-elit politik lokal. Terutama gubernur, DPRP, Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRD, DPD, dan seluruh bupati-bupati di Papua. Kubu yang kontra berasal kalangan gerakan rakyat, mahasiswa dan seluruh rakyat kelas bawah.

Setelah Otsus diterima oleh elit-elit politik lokal, terutama elit politik kelas menengah, dibuatlah pemekaran sebanyak-banyaknya oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan alasan, pertama, kondisi Papua yang begitu luas, dan kedua, untuk memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dan itu sekarang terjadi dengan adanya rencana lanjutan pemekaran Provinsi Papua Tengah oleh Isaias Douw (sekarang bupati Kabupaten Nabire).

Isaias berencana memekarkan Provinsi Papua Tengah dengan alasan, pemekaran akan memberikan kewenangan otonomi dan Papua bisa mengurus wilayah sendiri; urusan administrasi serta pengelolaan daerah menjadi lebih cepat dan lebih baik.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Bupati Jayawijaya, John Wempi Wetipo. Menurut John, pemekaran dilakukan demi kemajuan pembangunan di tanah Papua. Lebih khususnya, untuk kesejahteraan masyarakat.

Semua alasan pemekaran di Papua mengajukan isu kesejahteraan dan swakelola—dan itu bukan hal yang spesifik bagi Papua.
Lalu, dimana letak persoalannya? Mengapa elit-elit politik lokal vokal mau menerima tawaran pemerintah Indonesia? Mengapa elit politik lokal yang selalu meminta pemerintah Indonesia untuk segera memekarkan daerah-daerah dan provinsi baru? Apa kepentingan elit-elit politik lokal? Kemudian apa akibat yang akan terjadi di kalangan rakyat kelas bawah?

Politik pemekaran atau Devide et Impera di Papua sudah terjadi sejak lama sesudah Papua diintegrasikan secara paksa ke Indonesia di bawah moncong senjata. Sesudah dilakukan pemekaran, transmigrasi besar-besaran ke Papua digalakkan. Orang-orang dari pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan lain-lain didatangkan ke Papua. Dari situlah rakyat Papua mulai dengan proses kolonisasi/penjajahan struktural dan kultural oleh pemerintah Indonesia.

Rakyat Papua yang hari ini bermukim di daerah pesisir pantai seperti Nabire, Jayapura, Manokwari, Fak-Fak, Kaimana, Sorong, dan Biak tersingkir dari tanah mereka sendiri. Beberapa daerah yang baru dimekarkan dibuatlah oleh pemerintah pos-pos atau kamp-kamp untuk tempat tinggal mereka. Di Nabire dan Mimika, terdapat satu sampai empat tempat bernama Satuan Pemukiman (SP). Daerah itu dihuni oleh mayoritas masyarakat dari Jawa. Tempat itulah awal di mana mereka melakukan usaha kecil dan menegah seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain.

Posisi orang Papua saat itu yang hidupnya masih tradisional, dikagetkan oleh arus kapital yang sangat besar dan kemudian tersingkir secara ekonomi, politik, budaya, adat istiadat. Pusat-pusat ekonomi pada saat itu dikuasai oleh para pendatang yang bekerja sama langsung dengan pemerintah. Begitu pemekaran dilakukan, orang Papua yang pada masa kehidupannya selalu mengedepankan pembagian tanah-tanah adat didasarkan oleh marga-marga atau klan yang ada, lantas menjadi terpecah-belah.

Fragmentasi sosial orang Papua ini menimbulkan banyak sekali konflik horizontal yang terjadi sampai saat ini. Terutama di daerah-daerah pegunungan Papua; Kabupaten Dogiyai, Puncak Jaya, Nduga, Intan Jaya dan Jayawijaya. Beberapa daerah di atas yang biasa terjadi konflik dan peperangan hingga mengakibatkan korban puluhan sampai ratusan jiwa. Ada banyak konflik yang bermula dari pilkada-pilkada, berawal dari pemekaran daerah-daerah tersebut.
I Ngurah Suryawan , dalam Politik Pemekaran Daerah dan Siasat Elit Lokal di Papua, menjelaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi di daerah-daerah pemekaran di Papua disebabkan oleh  perebutan sumber daya alam, akses dan kekuasaan politik lokal, serta ketegangan antara berbagai etnis dan agama di tanah Papua.

Elit politik lokal dan militer Indonesia memiliki peran penting, kendati kekuatannya terbatas. Mereka tunduk dibawah kapitalis, yang menggelontorkan milyaran rupiah agar bisnis mereka bisa dijalankan di sana.
Hal ini terlihat jelas juga dengan adanya rencana pemekaran provinsi Papua Tengah yang dikabarkan akan segera diaktifkan oleh Isaias Douw dan beberapa koleganya (baca: orang-orang yang juga terlibat dan mendorong perencanaan pembentukan Provinsi Papua Tengah).
***
Polemik rencana pemekaran provinsi Papua Tengah tidak lahir dari sebuah konsensus yang luas. Pembentukan Provinsi Papua Tengah dimulai sejak kelahiran dua buah Undang-Undang (UU) yang sama sekali tidak berjalan, yaitu UU Nomor 45/1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5/2000.

Elit politik lokal yang pertama kali merespon disetujuinya pemekaran Provinsi Papua Tengah adalah Herman Monim, mantan bupati karateker pada tahun 1998-1999. Setelah itu dilanjutkan oleh Anselmus Petrus Youw (baca: AP Youw), mantan bupati Nabire selama dua periode dari tahun 1999 sampai 2009.

Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah pada masa AP Youw sebenarnya tidak jauh berbeda dengan strategi yang dibuat oleh Isaias sekarang. Kalau melihat dan menganalisa lebih jauh, pada masa terakhir jabatannya sebagai bupati Nabire, AP Youw mulai gemar memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah sesuai dengan kepentingan pribadinya: mengejar jabatan gubernur Provinsi Papua Tengah, yang masih ia lakukan sampai sekarang. AP Youw dikabarkan telah menggelapkan dana proyek pengadaan empat unit mesin pembangkit listrik diesel pada 2007 senilai Rp21 miliar rupiah. Kasus ini melibatkan Sekretaris Daerah (Sekda) saat itu, Ayub Kayame, dan Ketua DPRD Daniel Butu, serta pihak rekanan Muktar P.

Benar bahwa apa yang dikatakan oleh Francis Kati dan dikutip ulang oleh mantan peneliti LIPI Muridan Widjojo (almarhum) bahwa pemekaran daerah dan provinsi di Papua adalah tempat yang nyaman untuk berkembangbiaknya koruptor di Papua. Dengan membuat provinsi dan kabupaten baru, terbuka peluang jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang sudah habis masa jabatannya.

Dengan kabupaten dan provinsi baru, para elit lokal Papua memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Elit-elit baru yang korup juga tumbuh di daerah dan provinsi yang baru dimekarkan.
Selain berencana memekarkan Provinsi Papua Tengah pada saat itu, AP Youw juga telah memekarkan kabupaten Dogiyai pada 2010. Akibat dari pemekaran ini adalah rakyat Dogiyai tersingkir dari tanah mereka sendiri.

Terhitung sejak pemekaran Dogiyai, pembangunan pos-pos militer baru, kasus-kasus pelanggaran HAM merebak. Pos-pos militer telah dibangun di jalan-jalan darat utama yang menghubungkan Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.
Beberapa waktu lalu, saat diskusi bersama kawan-kawan dari organisasi mahasiswa Dogiyai di Jakarta, sejumlah kawan menceritakan Dogiyai pasca-pemekaran. Salah satu kawan menceritakan soal pengalamannya berangkat lewat jalur jalan darat dari Nabire ke Dogiyai. Selama perjalanan, sekitar empat sampai lima kali mereka di-sweeping oleh TNI dan Polisi. Alasannya, mereka meminta uang pajak jalan. Beberapa di antara mereka menolak dan terpaksa menelan bogem mentah aparat. Kawan lainnya bercerita mengenakan  baju bermotif Bintang Kejora dan berambut gimbal selama perjalanan dari Nabire ke Dogiyai. TNI dan polisi memukulinya sampai babak belur dan menyita kaos Bintang Kejora. Pengalaman ini tidak khas Dogiyai. Daerah-daerah yang baru dimekarkan menjadi sapi perah para Polisi dan TNI.

Pada masa periode AP Youw menjabat bupati Nabire, pemerintah meloloskan izin beroperasinya sejumlah perusahaan, termasuk PT Nabire Baru dan PT Dewa, pemilik proyek terbesar jalan trans yang menghubungkan kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Kontrak bersama disahkan dengan alasan meningkatkan pajak atau anggaran daerah saat itu.
Pada masa kepemimpinan Isaias, eksploitasi alam Nabire juga tidak bergenti. Salah satu korbannya adalah masyarakat Yerisiam di Kampung Sima, Distrik Yaur, yang dikabarkan sampai saat ini masih menolak klaim penguasaan perusahaan kelapa sawit atas tanah-tanah adat. Pada 12 April 2016, PT Nabire Baru membongkar secara paksa dusun sagu milik masyarakat Yerisiam atas dasar surat yang dikeluarkan oleh Isaias tentang Izin Lokasi Budidaya Kelapa Sawit kepada PT Nabire Baru seuas 17.000 ha.

Masa kepemimpinan Isaias sendiri melahirkan borjuasi-borjuasi Papua yang menguasai bisnis dan proyek di beberapa kabupaten seperti Nabire, Paniai, Dogiyai dan Deiyai. Rakyat Papua, khususnya warga Nabire, sudah tahu bahwa proyek pembuatan bandara internasional Douw Atarure di Nabire dijalankan oleh perusahan milik keluarga Isaias.
Selain pembuatan bandara internasional, pemerintah Nabire juga terus melakukan pembiaran terhadap maraknya pelanggaran-pelanggaran HAM dan maraknya anak-anak aibon (baca: anak-anak terlantar yang terbentuk karena sebuah proses kolonisasi yang panjang di Papua) dimana-mana.
Pelanggaran HAM, meningkatnya jumlah kematian orang asli Papua, maraknya anak-anak penghisap aibon, tidak terjadi dengan sendirinya. Situasi ini lahir dari hangatnya hubungan militer, pemodal, serta pemerintah dalam praktek-praktek kolonisasi struktural di Papua.
***
AP Youw dan Isaias terus menggencarkan propaganda ‘murahan’ di koran online Tabloid Jubi, Suara Papua, Papua Pos Nabire, Cenderawasih Pos dan Nabire Net untuk memperjuangkan rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah. Motif AP Youw mengejar jabatan guberbur Papua Tengah kini juga nampak pada Isaias.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Isaias dan beberapa koleganya dalam perencanaan pemekaran Provinsi Papua Tengah. Pertama, memainkan money politics kepada masyarakat pada masa pemilu lalu. Kedua, setelah menjadi bupati, mereka memegang kendali bupati-bupati yang ada dalam rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah, seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Mimika, Biak dan beberapa kabupaten lainnya—seperti yang telah terjadi pada masa pilkada di Dogiyai kemarin. 

Beberapa kawan dari Dogiyai menceritakan bahwa Yakobus Dumupa yang dikabarkan terpilih menjadi bupati Dogiyai periode 2017-2022, disogok oleh Isaias dengan jaminan-jaminan tertentu, termasuk harus disetujuinya pemekaran Provinsi Papua Tengah. Ketiga, rencana memegang kendali pemerintah Provinsi Papua yang diproyeksikan akan menyelenggarakan pilgub 2018. Sebenarnya bukan tidak ada, tetapi yang pastinya akan ada utusan yang akan dicalonkan dalam Pilgub besok. Tujuannya supaya gubernur Provinsi Papua utusan Isaias yang memungkinan menyetujui dan mendorong bersama-sama bagaimana supaya pemekaran Provinsi Papua Tengah itu dibentuk.

Papua secara umum saat ini ada di bawah kendali kapitalisme nasional dan imperialisme global. Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah berkaitan erat dengan dengan elit-elit politik lokal yang terus-menerus mau meloloskan kepentingan politik praktis dan bisnis-bisnis pribadi mereka, para kapitalis nasional dan internasional, dan militer sebagai penjaga pos-pos perusahan di daerah-daerah yang sudah dimekarkan. Kekayaan alam di Papua, terutama di wilayah yang diklaim akan dimekarkan ini, akan menjadi lahan terbesar untuk eksploitasi alam dan manusianya.

Kabupaten Nabire sendiri sudah menjadi tempat lahan tambang, kelapa sawit, hingga perusahan-perusahan kayu liar milik kapitalis nasional. Di Nabire, terdapat 79 perusahan illegal, dan 23 perusahan tambang yang sudah diijinkan oleh pemerintah Kabupaten Nabire,  tanpa ada izin dari masyarakat pemilik tanah adat. Sementara itu, Kabupaten Timika sudah menjadi lahan subur bagi kapitalisme dimana perusahan raksasa terbesar, PT Freeport berada. Sama halnya dengan Kabupaten Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Puncak Jaya dan Puncak Papua yang sudah menjadi target PT Freeport untuk terus dieksploitasi.

Beberapa waktu lalu, kawan-kawan mahasiswa dari Paniai, Dogiyai, dan Deiyai menceritakan pengalaman-pengalaman mereka ketika berdiskusi di Jakarta. Salah satu kawan dari Paniai bercerita pendaratan sebuah helikopter di Paniai, tepat di desa Bogobaida yang tak lain adalah kampung halamannya. Empat orang turun dari helikopter dengan memakai pakaian khas karyawan (buruh) PT Freeport; dua orang Amerika, dan dua warga non-Papua. Mereka menanyakan soal lokasi yang akan menjadi lahan penggalian di desa tersebut sebagai cabang perusahan dari PT Freeport.

Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah yang gencar diperjuangkan oleh Isaias juga memiliki hubungan intim dengan rencana kontrak karya Freeport yang direncanakan akan dibahas pada 2019 (kontrak karya PT Freeport akan berakhir pada 2021).
Kisah pemekaran Provinsi Papua Tengah pada akhirnya adalah satu babak dalam eksploitasi alam dan manusia Papua. Sudah begitu ko mau belah dan percaya dorang terus kah?***

Sumber: (Uhttps://indoprogress.com) Mikael Kudiai adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

0 komentar: