Aktivis,
Kapitalisme Di Balik Rencana Pemekaran Provinsi Papua Tengah
The act of no choice (1969) "Betreyal)" |
Neg.com,-- PEMEKARAN daerah dan provinsi di Papua tak lepas dari hadirnya
Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua tahun 2001 yang juga
mengatur pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Alasan utama UU Otsus
diberikan karena status politik Papua yang tidak disetujui oleh
pemerintah Indonesia dan diberikan secara paksa UU Otsus untuk meredam
aspirasi-aspirasi politik pembebasan nasional Papua.
Pada perkembangannya, UU Otsus sampai saat ini masih menuai
kontraversi dan sikap penolakan keras dari kalangan rakyat Papua
sendiri, terutama dari kalangan gerakan-gerakan pro-kemerdekaan,
mahasiswa, dan rakyat kelas bawah. Otsus yang direncanakan akan menyejahterakan rakyat Papua, pada praktiknya gagal total memenuhi tujuannya.
Beberapa akademisi hingga para elit politik Jakarta
mengungkapkan bahwa kehidupan orang Papua sudah diatur di dalam UU
Otsus. Akibat yang terjadi adalah orang Papua (baca: elit politik lokal)
sendiri tidak bisa menjalankan kebijakan itu. Elit-elit politik Papua,
sebagai ‘keluarga besar dari kapitalisme’, sampai saat ini terus
melakukan kolonisasi atau praktik-praktik penjajahan terhadap orang
Papua sendiri.
Lalu apa yang salah dari UU Otsus?
Ada beberapa hal yang sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia soal kebijakan UU Otsus di Papua: pertama, pemerintah Indonesia tetap menolak aspirasi politik rakyat soal pembebasan nasional Papua. Kedua, pemerintah Indonesia memaksakan elit-elit politik lokal untuk terus melaksanakan UU Otsus.
Tetapi ketika UU Otsus itu malah balik menindas rakyat Papua sendiri,
elit-elit potlik Papua akan disalahkan balik oleh pemerintah Indonesia. Ketiga, pemerintah Indonesia tidak mempertimbangkan sebab dan akibat ketika UU Otsus itu diberikan.Keempat,
pemerintah Indonesia tidak melihat dan menganalisis dari sejarah
perkembangan rakyat Papua yang hubungannya dengan adanya benturan
peradaban antara masa komunal tradisional dengan arus kapitalis yang
mengakibatkan elit-elit politik Papua sendiri susah untuk mempraktikkan
kebijakan Otonomi yang output-nya adalah uang.
Rakyat Papua sendiri dipecah-pecah oleh pemerintah Indonesia menjadi
dua kubu besar: yang pro UU Otsus dan DOB, serta yang kontra. Semua yang
pro-UU Otsus dan DOB berasal dari elit-elit politik lokal. Terutama
gubernur, DPRP, Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRD, DPD, dan seluruh
bupati-bupati di Papua. Kubu yang kontra berasal kalangan gerakan
rakyat, mahasiswa dan seluruh rakyat kelas bawah.
Setelah Otsus diterima oleh elit-elit politik lokal, terutama elit
politik kelas menengah, dibuatlah pemekaran sebanyak-banyaknya oleh
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan alasan, pertama, kondisi Papua yang begitu luas, dan kedua,
untuk memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Dan itu sekarang terjadi dengan adanya rencana lanjutan
pemekaran Provinsi Papua Tengah oleh Isaias Douw (sekarang bupati
Kabupaten Nabire).
Isaias berencana memekarkan Provinsi Papua Tengah dengan alasan,
pemekaran akan memberikan kewenangan otonomi dan Papua bisa mengurus
wilayah sendiri; urusan administrasi serta pengelolaan daerah menjadi
lebih cepat dan lebih baik.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Bupati Jayawijaya, John Wempi Wetipo. Menurut John, pemekaran dilakukan demi kemajuan pembangunan di tanah Papua. Lebih khususnya, untuk kesejahteraan masyarakat.
Semua alasan pemekaran di Papua mengajukan isu kesejahteraan dan swakelola—dan itu bukan hal yang spesifik bagi Papua.
Lalu, dimana letak persoalannya? Mengapa elit-elit politik lokal
vokal mau menerima tawaran pemerintah Indonesia? Mengapa elit politik
lokal yang selalu meminta pemerintah Indonesia untuk segera memekarkan
daerah-daerah dan provinsi baru? Apa kepentingan elit-elit politik
lokal? Kemudian apa akibat yang akan terjadi di kalangan rakyat kelas
bawah?
Politik pemekaran atau Devide et Impera di Papua sudah
terjadi sejak lama sesudah Papua diintegrasikan secara paksa ke
Indonesia di bawah moncong senjata. Sesudah dilakukan pemekaran,
transmigrasi besar-besaran ke Papua digalakkan. Orang-orang dari pulau
Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan
lain-lain didatangkan ke Papua. Dari situlah rakyat Papua mulai dengan
proses kolonisasi/penjajahan struktural dan kultural oleh pemerintah
Indonesia.
Rakyat Papua yang hari ini bermukim di daerah pesisir pantai seperti
Nabire, Jayapura, Manokwari, Fak-Fak, Kaimana, Sorong, dan Biak
tersingkir dari tanah mereka sendiri. Beberapa daerah yang baru
dimekarkan dibuatlah oleh pemerintah pos-pos atau kamp-kamp untuk tempat
tinggal mereka. Di Nabire dan Mimika, terdapat satu sampai empat tempat
bernama Satuan Pemukiman (SP). Daerah itu dihuni oleh mayoritas
masyarakat dari Jawa. Tempat itulah awal di mana mereka melakukan usaha
kecil dan menegah seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan
lain-lain.
Posisi orang Papua saat itu yang hidupnya masih tradisional,
dikagetkan oleh arus kapital yang sangat besar dan kemudian tersingkir
secara ekonomi, politik, budaya, adat istiadat. Pusat-pusat ekonomi pada
saat itu dikuasai oleh para pendatang yang bekerja sama langsung dengan
pemerintah. Begitu pemekaran dilakukan, orang Papua yang pada masa
kehidupannya selalu mengedepankan pembagian tanah-tanah adat didasarkan
oleh marga-marga atau klan yang ada, lantas menjadi terpecah-belah.
Fragmentasi sosial orang Papua ini menimbulkan banyak sekali konflik
horizontal yang terjadi sampai saat ini. Terutama di daerah-daerah
pegunungan Papua; Kabupaten Dogiyai, Puncak Jaya, Nduga, Intan Jaya dan
Jayawijaya. Beberapa daerah di atas yang biasa terjadi konflik dan
peperangan hingga mengakibatkan korban puluhan sampai ratusan jiwa. Ada
banyak konflik yang bermula dari pilkada-pilkada, berawal dari pemekaran
daerah-daerah tersebut.
I Ngurah Suryawan , dalam Politik Pemekaran Daerah dan Siasat Elit Lokal di Papua, menjelaskan
bahwa konflik-konflik yang terjadi di daerah-daerah pemekaran di Papua
disebabkan oleh perebutan sumber daya alam, akses dan kekuasaan politik
lokal, serta ketegangan antara berbagai etnis dan agama di tanah Papua.
Elit politik lokal dan militer Indonesia memiliki peran penting,
kendati kekuatannya terbatas. Mereka tunduk dibawah kapitalis, yang
menggelontorkan milyaran rupiah agar bisnis mereka bisa dijalankan di
sana.
Hal ini terlihat jelas juga dengan adanya rencana pemekaran provinsi
Papua Tengah yang dikabarkan akan segera diaktifkan oleh Isaias Douw dan
beberapa koleganya (baca: orang-orang yang juga terlibat dan mendorong
perencanaan pembentukan Provinsi Papua Tengah).
***
Polemik rencana pemekaran provinsi Papua Tengah tidak lahir dari
sebuah konsensus yang luas. Pembentukan Provinsi Papua Tengah dimulai
sejak kelahiran dua buah Undang-Undang (UU) yang sama sekali tidak
berjalan, yaitu UU Nomor 45/1999 tentang pemekaran provinsi Papua
menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat
dan UU Nomor 5/2000.
Elit politik lokal yang pertama kali merespon disetujuinya pemekaran Provinsi Papua Tengah adalah Herman Monim,
mantan bupati karateker pada tahun 1998-1999. Setelah itu dilanjutkan
oleh Anselmus Petrus Youw (baca: AP Youw), mantan bupati Nabire selama
dua periode dari tahun 1999 sampai 2009.
Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah pada masa AP Youw sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan strategi yang dibuat oleh Isaias sekarang.
Kalau melihat dan menganalisa lebih jauh, pada masa terakhir jabatannya
sebagai bupati Nabire, AP Youw mulai gemar memperjuangkan pemekaran
Provinsi Papua Tengah sesuai dengan kepentingan pribadinya: mengejar
jabatan gubernur Provinsi Papua Tengah, yang masih ia lakukan sampai
sekarang. AP Youw dikabarkan telah menggelapkan dana proyek pengadaan
empat unit mesin pembangkit listrik diesel pada 2007 senilai Rp21 miliar
rupiah. Kasus ini melibatkan Sekretaris Daerah (Sekda) saat itu, Ayub
Kayame, dan Ketua DPRD Daniel Butu, serta pihak rekanan Muktar P.
Benar bahwa apa yang dikatakan oleh Francis Kati dan dikutip ulang
oleh mantan peneliti LIPI Muridan Widjojo (almarhum) bahwa pemekaran
daerah dan provinsi di Papua adalah tempat yang nyaman untuk
berkembangbiaknya koruptor di Papua. Dengan membuat provinsi dan
kabupaten baru, terbuka peluang jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang
sudah habis masa jabatannya.
Dengan kabupaten dan provinsi baru, para elit lokal Papua memiliki
kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Elit-elit baru
yang korup juga tumbuh di daerah dan provinsi yang baru dimekarkan.
Selain berencana memekarkan Provinsi Papua Tengah pada saat itu, AP Youw juga telah memekarkan kabupaten Dogiyai pada 2010. Akibat dari pemekaran ini adalah rakyat Dogiyai tersingkir dari tanah mereka sendiri.
Terhitung sejak pemekaran Dogiyai, pembangunan pos-pos militer baru,
kasus-kasus pelanggaran HAM merebak. Pos-pos militer telah dibangun di
jalan-jalan darat utama yang menghubungkan Kabupaten Nabire, Dogiyai,
Deiyai, dan Paniai.
Beberapa waktu lalu, saat diskusi bersama kawan-kawan dari organisasi
mahasiswa Dogiyai di Jakarta, sejumlah kawan menceritakan Dogiyai
pasca-pemekaran. Salah satu kawan menceritakan soal pengalamannya
berangkat lewat jalur jalan darat dari Nabire ke Dogiyai. Selama
perjalanan, sekitar empat sampai lima kali mereka di-sweeping
oleh TNI dan Polisi. Alasannya, mereka meminta uang pajak jalan.
Beberapa di antara mereka menolak dan terpaksa menelan bogem mentah
aparat. Kawan lainnya bercerita mengenakan baju bermotif Bintang Kejora
dan berambut gimbal selama perjalanan dari Nabire ke Dogiyai. TNI dan
polisi memukulinya sampai babak belur dan menyita kaos Bintang Kejora. Pengalaman ini tidak khas Dogiyai. Daerah-daerah yang baru dimekarkan menjadi sapi perah para Polisi dan TNI.
Pada masa periode AP Youw menjabat bupati Nabire, pemerintah
meloloskan izin beroperasinya sejumlah perusahaan, termasuk PT Nabire
Baru dan PT Dewa, pemilik proyek terbesar jalan trans yang menghubungkan
kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Kontrak bersama disahkan
dengan alasan meningkatkan pajak atau anggaran daerah saat itu.
Pada masa kepemimpinan Isaias, eksploitasi alam Nabire juga tidak
bergenti. Salah satu korbannya adalah masyarakat Yerisiam di Kampung
Sima, Distrik Yaur, yang dikabarkan sampai saat ini masih menolak klaim
penguasaan perusahaan kelapa sawit atas tanah-tanah adat. Pada 12 April
2016, PT Nabire Baru membongkar secara paksa dusun sagu milik masyarakat
Yerisiam atas dasar surat yang dikeluarkan oleh Isaias tentang Izin
Lokasi Budidaya Kelapa Sawit kepada PT Nabire Baru seuas 17.000 ha.
Masa kepemimpinan Isaias sendiri melahirkan borjuasi-borjuasi Papua
yang menguasai bisnis dan proyek di beberapa kabupaten seperti Nabire,
Paniai, Dogiyai dan Deiyai. Rakyat Papua, khususnya warga Nabire, sudah
tahu bahwa proyek pembuatan bandara internasional Douw Atarure di Nabire
dijalankan oleh perusahan milik keluarga Isaias.
Selain pembuatan bandara internasional, pemerintah Nabire juga terus
melakukan pembiaran terhadap maraknya pelanggaran-pelanggaran HAM dan
maraknya anak-anak aibon (baca: anak-anak terlantar yang terbentuk
karena sebuah proses kolonisasi yang panjang di Papua) dimana-mana.
Pelanggaran HAM, meningkatnya jumlah kematian orang asli Papua,
maraknya anak-anak penghisap aibon, tidak terjadi dengan sendirinya.
Situasi ini lahir dari hangatnya hubungan militer, pemodal, serta
pemerintah dalam praktek-praktek kolonisasi struktural di Papua.
***
AP Youw dan Isaias terus menggencarkan propaganda ‘murahan’ di koran online Tabloid Jubi, Suara Papua, Papua Pos Nabire, Cenderawasih Pos dan Nabire Net untuk memperjuangkan rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah. Motif AP
Youw mengejar jabatan guberbur Papua Tengah kini juga nampak pada
Isaias.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Isaias dan beberapa koleganya dalam perencanaan pemekaran Provinsi Papua Tengah. Pertama, memainkan money politics kepada masyarakat pada masa pemilu lalu. Kedua, setelah
menjadi bupati, mereka memegang kendali bupati-bupati yang ada dalam
rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah, seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Mimika, Biak dan beberapa kabupaten lainnya—seperti yang telah terjadi pada
masa pilkada di Dogiyai kemarin.
Beberapa kawan dari Dogiyai
menceritakan bahwa Yakobus Dumupa yang dikabarkan terpilih menjadi
bupati Dogiyai periode 2017-2022, disogok oleh Isaias dengan jaminan-jaminan tertentu, termasuk harus disetujuinya pemekaran Provinsi Papua Tengah. Ketiga, rencana
memegang kendali pemerintah Provinsi Papua yang diproyeksikan akan
menyelenggarakan pilgub 2018. Sebenarnya bukan tidak ada, tetapi yang
pastinya akan ada utusan yang akan dicalonkan dalam Pilgub besok.
Tujuannya supaya gubernur Provinsi Papua utusan Isaias yang memungkinan
menyetujui dan mendorong bersama-sama bagaimana supaya pemekaran
Provinsi Papua Tengah itu dibentuk.
Papua secara umum saat ini ada di bawah kendali kapitalisme nasional
dan imperialisme global. Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah
berkaitan erat dengan dengan elit-elit politik lokal yang terus-menerus
mau meloloskan kepentingan politik praktis dan bisnis-bisnis pribadi
mereka, para kapitalis nasional dan internasional, dan militer sebagai
penjaga pos-pos perusahan di daerah-daerah yang sudah dimekarkan.
Kekayaan alam di Papua, terutama di wilayah yang diklaim akan dimekarkan
ini, akan menjadi lahan terbesar untuk eksploitasi alam dan manusianya.
Kabupaten Nabire sendiri sudah menjadi tempat lahan tambang, kelapa
sawit, hingga perusahan-perusahan kayu liar milik kapitalis nasional. Di
Nabire, terdapat 79 perusahan illegal, dan 23 perusahan tambang yang
sudah diijinkan oleh pemerintah Kabupaten Nabire,
tanpa ada izin dari masyarakat pemilik tanah adat. Sementara itu,
Kabupaten Timika sudah menjadi lahan subur bagi kapitalisme dimana
perusahan raksasa terbesar, PT Freeport berada. Sama halnya dengan
Kabupaten Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Puncak Jaya dan Puncak Papua
yang sudah menjadi target PT Freeport untuk terus dieksploitasi.
Beberapa waktu lalu, kawan-kawan mahasiswa dari Paniai, Dogiyai, dan
Deiyai menceritakan pengalaman-pengalaman mereka ketika berdiskusi di
Jakarta. Salah satu kawan dari Paniai bercerita pendaratan sebuah
helikopter di Paniai, tepat di desa Bogobaida yang tak lain adalah
kampung halamannya. Empat orang turun dari helikopter dengan memakai
pakaian khas karyawan (buruh) PT Freeport; dua orang Amerika, dan dua
warga non-Papua. Mereka menanyakan soal lokasi yang akan menjadi lahan
penggalian di desa tersebut sebagai cabang perusahan dari PT Freeport.
Rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah yang gencar diperjuangkan
oleh Isaias juga memiliki hubungan intim dengan rencana kontrak karya
Freeport yang direncanakan akan dibahas pada 2019 (kontrak karya PT
Freeport akan berakhir pada 2021).
Kisah pemekaran Provinsi Papua Tengah pada akhirnya adalah satu babak dalam eksploitasi alam dan manusia Papua. Sudah begitu ko mau belah dan percaya dorang terus kah?***
Sumber: (Uhttps://indoprogress.com) Mikael Kudiai adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
0 komentar: