Aktivis,
Neg.com,- Dalam kunjungan Dainius Pūras menyambangi Papua pada Jumat terakhir Maret lalu. Selama
kurang lebih 30 jam, ia harus memantau kehidupan warga di sana. Sebagai
Pelapor Khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia memang bertugas
untuk menilai standar kesehatan fisik dan mental orang-orang Indonesia,
termasuk rakyat Papua. Penilaian itu diperlukan untuk mengukur sejauh
mana negara hadir menggenapi kewajiban melayani masyarakat terutama di
bidang kesehatan—salah satu hak asasi manusia.
Dalam kunjungan singkat itu, Pūras menggarisbawahi sejumlah poin yang menurutnya perlu perbaikan segera di tanah Papua. Di antaranya: kesehatan ibu dan kesehatan anak-anak, seksual dan reproduksi, kesehatan mental, HIV/AIDS dan narkoba. Ia juga mengangkat masalah kekurangan tenaga medis di Papua dalam satu konferensi pers.
"Penting untuk mencari solusi terkait pelayanan kesehatan di Papua, layanan yang diterima dan digunakan oleh masyarakat," ujarnya, dikutip Antara, 31 Maret.
Dari keseluruhan cerita kesehatan di Indonesia, Pūras mengutarakan akan memberi porsi besar pada kasus HIV/AIDS di Papua. Kasus ini akan dimuat dalam laporannya yang dirilis pada 2018 nanti. "Kami juga memberi perhatian terkait penyakit HIV/AIDS yang tingkat prevalensinya semakin tinggi,” katanya.
Keputusan Pūras benar belaka. HIV/AIDS di Papua memang perlu diberi sorotan.
Sejak 2015 hingga 2016, kasus penyakit yang menyerang imunitas tubuh itu terus meningkat. Hingga Juni 2016, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mencatat 25.349 kasus, dan selang enam bulan kemudian, Desember 2016, ia meningkat menjadi 26.973 kasus.
Parahnya, kondisi ini menyerang lebih banyak orang-orang berusia produktif, dari umur 19 hingga 49 tahun. Rentang usia yang terkena HIV-AIDS: 589 kasus menyerang usia 1 hingga 14 tahun, 3.007 kasus pada usia 15 hingga 19 tahun, dan 21.811 kasus pada usia 20-49 tahun.
Angka-angka ini jadi salah satu perkara yang disorot Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, sebuah gereja yang memantau kasus pelanggaran HAM di Papua. Dalam laporan Papua di Ambang Kehancuran, yang diluncurkan di Jakarta pada 11 April lalu, Gereja Fransiskan Papua menuntut pemerintah untuk tanggap menyelesaikan kasus HIV/AIDS di Papua. Angka 2,3 persen kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada masyarakat Papua dianggap sudah terlalu tinggi dan mengancam eksistensi penduduk asli Papua.
“Kesehatan mereka adalah tanggung jawab negara, dan peningkatan jumlah HIV/AIDS ini adalah bukti pemerintah abai,” ujar Basilius Triharyanto, salah satu penulis laporan.
Menurutnya, jumlah tersebut bisa disiasati jika pemerintah tanggap dan menyediakan layanan kesehatan yang memadai di sana. “HIV/AIDS hari ini bukan lagi penyakit yang tak bisa disiasati. Ada obat yang bisa membuat orang-orang dengan HIV/AIDS lebih sehat dan lebih produktif,” tambahnya.
Triharyanto benar. Salah satu penanganan paling mutakhir terhadap penderita HIV adalah terapi ARV alias antiretroviral therapy, biasa disingkat jadi ART. Ia adalah serangkaian pengobatan yang akan mengontrol jumlah virus HIV dalam tubuh. Terapi ini bisa membuat seorang HIV Positif tidak bisa menularkan virus pada orang lain, dan hidup produktif seperti orang sehat pada umumnya
Harganya memang tidak murah. Namun, demi menunaikan janji melindungi segenap bangsa Indonesia, pemerintah harusnya punya siasat tentang hal itu.
Di London, Oktober lalu, bahkan seorang dengan HIV yang tak ingin disebutkan namanya didiagnosis sembuh total, meski masih perlu dipantau di laboratorium, setelah menjalani pengobatan HIV/AIDS termuktahir. Ini membuktikan kalau dunia medis hari ini sudah lebih ramah pada orang dengan HIV/AIDS.
Tapi, orang-orang Papua masih belum merasakannya. Terutama 2,3 persen dari mereka yang terang-terang sudah terpapar HIV/AIDS. Hidup mereka di ujung maut.
Pada 2007, sebenarnya pemerintah telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Tapi, menurut Triharyanto, hasil kerja mereka tak signifikan sama sekali. Terbukti dari jumlah kasus yang terus bertambah. Padahal, kasus-kasus HIV/AIDS ini sudah ditemukan hampir di seluruh daerah di Papua.
“Harusnya sudah tidak bisa dibiarkan lagi dan segera ditangani. Karena bisa-bisa orang Papua—terutama penduduk asli Papua—punah,” kata Veronica Koman, pengacara HAM dan aktivis Papua Itu Kita, yang turut bertemu Pelapor Khusus PBB Dainius Pūras selama kunjungannya ke Indonesia.
Ramalan itu dibikinnya dari analisis jumlah penduduk asli Papua yang memang terus menurun dengan mengombinasikan kedatangan migran orang non-Papua dan isu lain termasuk layanan kesehatan tak layak di sana sejak 1970-an. Pada 1963, jumlah penduduk asli Papua masih 100 persen. Namun, dalam sensus 1971, jumlah penduduk asli Papua menjadi 96 persen (923 ribu), sementara jumlah orang non-Papua sebesar 4 persen (36 ribu).
Konfigurasi yang berubah itu lantaran program transmigrasi negara pemerintahan Soeharto yang mengirim orang-orang di wilayah padat penduduk ke wilayah yang masih jarang penduduk. Belakangan, ia tak cuma diubah oleh transmigrasi, melainkan para migran ekonomi yang mencari peruntungan ke Papua. Mereka termasuk orang Makassar, Bugis, Maluku, selain Jawa dan sebagainya. Kondisi ini ditambah dan diperparah lewat kekerasan negara dan gelombang korporasi di wilaya yang paling tertutup dari akses peliputan media maupun pemantauan kejahatan kemanusiaan.
Itu secara gradual menurunkan jumlah orang asli Papua. Persentasenya terus merosot.
Pada sensus 2010, jumlah penduduk asli Papua sekitar 73,57 persen (2.121.436 jiwa), sementara jumlah pendatang 22,84 persen (658.708 jiwa). Angka ini yang kemudian dipakai Elmslie untuk memperingatkan pemerintah Indonesia kalau salah satu etnis di negaranya terancam punah. Elmslie menyebutnya sebagai "slow-motion genocide."
“Kalau pemerintah terus-terusan mengabaikan laporan-laporan semacam ini, dan tidak segera mengambil kebijakan, ya bisa dibilang ini upaya mereka memusnakan etnis Papua,” ujar Veronica Koman. (Admin)
Sumber:https://tirto.id
Tingkat Penderita HIV/AIDS dan Ancaman Kepunahan OAP
Senyum Manis Anak Generasi Penerus Papua Rindu Uluran Tangan, senyuman dibalik derita (Foto:Ist) |
Dalam kunjungan singkat itu, Pūras menggarisbawahi sejumlah poin yang menurutnya perlu perbaikan segera di tanah Papua. Di antaranya: kesehatan ibu dan kesehatan anak-anak, seksual dan reproduksi, kesehatan mental, HIV/AIDS dan narkoba. Ia juga mengangkat masalah kekurangan tenaga medis di Papua dalam satu konferensi pers.
"Penting untuk mencari solusi terkait pelayanan kesehatan di Papua, layanan yang diterima dan digunakan oleh masyarakat," ujarnya, dikutip Antara, 31 Maret.
Dari keseluruhan cerita kesehatan di Indonesia, Pūras mengutarakan akan memberi porsi besar pada kasus HIV/AIDS di Papua. Kasus ini akan dimuat dalam laporannya yang dirilis pada 2018 nanti. "Kami juga memberi perhatian terkait penyakit HIV/AIDS yang tingkat prevalensinya semakin tinggi,” katanya.
Keputusan Pūras benar belaka. HIV/AIDS di Papua memang perlu diberi sorotan.
Sejak 2015 hingga 2016, kasus penyakit yang menyerang imunitas tubuh itu terus meningkat. Hingga Juni 2016, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mencatat 25.349 kasus, dan selang enam bulan kemudian, Desember 2016, ia meningkat menjadi 26.973 kasus.
Parahnya, kondisi ini menyerang lebih banyak orang-orang berusia produktif, dari umur 19 hingga 49 tahun. Rentang usia yang terkena HIV-AIDS: 589 kasus menyerang usia 1 hingga 14 tahun, 3.007 kasus pada usia 15 hingga 19 tahun, dan 21.811 kasus pada usia 20-49 tahun.
Angka-angka ini jadi salah satu perkara yang disorot Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, sebuah gereja yang memantau kasus pelanggaran HAM di Papua. Dalam laporan Papua di Ambang Kehancuran, yang diluncurkan di Jakarta pada 11 April lalu, Gereja Fransiskan Papua menuntut pemerintah untuk tanggap menyelesaikan kasus HIV/AIDS di Papua. Angka 2,3 persen kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada masyarakat Papua dianggap sudah terlalu tinggi dan mengancam eksistensi penduduk asli Papua.
“Kesehatan mereka adalah tanggung jawab negara, dan peningkatan jumlah HIV/AIDS ini adalah bukti pemerintah abai,” ujar Basilius Triharyanto, salah satu penulis laporan.
Menurutnya, jumlah tersebut bisa disiasati jika pemerintah tanggap dan menyediakan layanan kesehatan yang memadai di sana. “HIV/AIDS hari ini bukan lagi penyakit yang tak bisa disiasati. Ada obat yang bisa membuat orang-orang dengan HIV/AIDS lebih sehat dan lebih produktif,” tambahnya.
Triharyanto benar. Salah satu penanganan paling mutakhir terhadap penderita HIV adalah terapi ARV alias antiretroviral therapy, biasa disingkat jadi ART. Ia adalah serangkaian pengobatan yang akan mengontrol jumlah virus HIV dalam tubuh. Terapi ini bisa membuat seorang HIV Positif tidak bisa menularkan virus pada orang lain, dan hidup produktif seperti orang sehat pada umumnya
Harganya memang tidak murah. Namun, demi menunaikan janji melindungi segenap bangsa Indonesia, pemerintah harusnya punya siasat tentang hal itu.
Di London, Oktober lalu, bahkan seorang dengan HIV yang tak ingin disebutkan namanya didiagnosis sembuh total, meski masih perlu dipantau di laboratorium, setelah menjalani pengobatan HIV/AIDS termuktahir. Ini membuktikan kalau dunia medis hari ini sudah lebih ramah pada orang dengan HIV/AIDS.
Tapi, orang-orang Papua masih belum merasakannya. Terutama 2,3 persen dari mereka yang terang-terang sudah terpapar HIV/AIDS. Hidup mereka di ujung maut.
Pada 2007, sebenarnya pemerintah telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Tapi, menurut Triharyanto, hasil kerja mereka tak signifikan sama sekali. Terbukti dari jumlah kasus yang terus bertambah. Padahal, kasus-kasus HIV/AIDS ini sudah ditemukan hampir di seluruh daerah di Papua.
“Harusnya sudah tidak bisa dibiarkan lagi dan segera ditangani. Karena bisa-bisa orang Papua—terutama penduduk asli Papua—punah,” kata Veronica Koman, pengacara HAM dan aktivis Papua Itu Kita, yang turut bertemu Pelapor Khusus PBB Dainius Pūras selama kunjungannya ke Indonesia.
Ancaman Kepunahan Orang Papua
Studi terbaru Dr. Jim Elmslie, akademisi University of Sydney, dalam The Asia-Pasific Journal, menyebut jumlah penduduk asli Papua sudah menjadi minoritas pada 2017. Ia bahkan memprediksi, dalam dekade berikutnya setelah sensus terakhir (2010), angkanya akan turun dalam kisaran 15 sampai 20 persen.Ramalan itu dibikinnya dari analisis jumlah penduduk asli Papua yang memang terus menurun dengan mengombinasikan kedatangan migran orang non-Papua dan isu lain termasuk layanan kesehatan tak layak di sana sejak 1970-an. Pada 1963, jumlah penduduk asli Papua masih 100 persen. Namun, dalam sensus 1971, jumlah penduduk asli Papua menjadi 96 persen (923 ribu), sementara jumlah orang non-Papua sebesar 4 persen (36 ribu).
Konfigurasi yang berubah itu lantaran program transmigrasi negara pemerintahan Soeharto yang mengirim orang-orang di wilayah padat penduduk ke wilayah yang masih jarang penduduk. Belakangan, ia tak cuma diubah oleh transmigrasi, melainkan para migran ekonomi yang mencari peruntungan ke Papua. Mereka termasuk orang Makassar, Bugis, Maluku, selain Jawa dan sebagainya. Kondisi ini ditambah dan diperparah lewat kekerasan negara dan gelombang korporasi di wilaya yang paling tertutup dari akses peliputan media maupun pemantauan kejahatan kemanusiaan.
Itu secara gradual menurunkan jumlah orang asli Papua. Persentasenya terus merosot.
Pada sensus 2010, jumlah penduduk asli Papua sekitar 73,57 persen (2.121.436 jiwa), sementara jumlah pendatang 22,84 persen (658.708 jiwa). Angka ini yang kemudian dipakai Elmslie untuk memperingatkan pemerintah Indonesia kalau salah satu etnis di negaranya terancam punah. Elmslie menyebutnya sebagai "slow-motion genocide."
“Kalau pemerintah terus-terusan mengabaikan laporan-laporan semacam ini, dan tidak segera mengambil kebijakan, ya bisa dibilang ini upaya mereka memusnakan etnis Papua,” ujar Veronica Koman. (Admin)
Sumber:https://tirto.id
0 komentar: