Informasi,
NegNesian.com,- Kita bisa berdebat dalam banyak hal, tapi agaknya kita bisa dengan mudah membuat kesepakatan: Boaz adalah pemain terbaik Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Pencapaiannya tak ada yang menyamai: empat gelar juara Liga Indonesia, satu gelar juara Pekan Olahraga Nasional (2004), tiga kali menjadi top skor Liga Indonesia, menjadi pemain terbaik Liga Indonesia (2013),�sekali menjadi top skor Pekan Olahraga Nasional (PON), belum terhitung capaian-capaian minor seperti tiga kali menjadi runner-up Piala Indonesia, sekali meraih juara Community Shield yang mempertemukan juara Liga dan juara Piala Indonesia (2009).
Boaz adalah sedikit pemain Indonesia yang mencuat sejak usia muda tapi tetap berada di puncak prestasi begitu memasuki fase senior. Top skor PON saat ia berusia 18 tahun dilanjutkan dengan prestasi demi prestasi di level senior. Gelar demi gelar terus ia raih seiring merambatnya usia.
Hebatnya lagi, semua capaian itu ia raih setelah mendapatkan cedera patah kaki. Dua kali ia mendapatkan cedera parah. Pertama pada 2005 saat ditekel oleh Baihakki Kaizan di final Piala Tiger 2005 dan pada 2007 dalam laga persiapan menjelang Piala Asia karena tekel pemain Hongkong di laga ujicoba.
Dua cedera itulah, semuanya mendera saat bermain demi dan atas nama Indonesia, seharusnya bisa menjadi gardu pengingat yang sanggup menahan siapa pun untuk berhati-hati memvonis Boaz sebagai "pemain yang tak becus membela merah putih".
Sepakbola Indonesia akrab dengan cerita tentang bakat besar pemain muda ini dan itu atau kesebelasan ini dan itu tapi kemudian merosot dengan cepat. Dari kesebelasan Primavera hingga Beretti yang berlatih di Italia dan terakhir beberapa generasi SAD yang berkompetisi di Uruguay, dari Kurniawan Dwi Julianto hingga Syamsir Alam -- semua tentang kabar pemain muda yang berbakat namun kemudian meredup cepat tanpa sempat menggapai yang tertinggi dalam hal prestasi.
Boaz memang sama seperti yang lain, dari Bepe hingga Bustomi atau Bejo Sugiantoro hingga M. Roby, yang gagal atau belum memberikan prestasi untuk kesebelasan nasional. Boaz masih punya kesempatan memberikan trofi untuk Indonesia. Tapi sebelum trofi benar-benar datang ke Indonesia, ia masihlah bagian dari sebuah -- meminjam istilahnya Bepe-- "generasi yang gagal".
Tapi ia tak gagal bersama kesebelasan yang diperkuatnya, juga dalam hal pencapaian pribadinya. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, capaian pribadi Boaz bersama Persipura merupakan capaian terhebat yang pernah ditorehkan oleh seorang pemain sepakbola di jagat sepakbola Indonesia abad-20.
Jika Kurniawan adalah pemain yang mencuat saat saya masih remaja, Boaz adalah pemain yang namanya moncer saat saya sudah beranjak dewasa. Jika Adjat Sudradjat dan Ribut Waidi adalah ingatan masa kecil saya tentang pemain hebat Indonesia, sementara Kurniawan adalah ingatan masa remaja saya tentang seperti apa profil idaman pemain Indonesia yang layak diidolakan, maka Boaz adalah kesadaran fase dewasa saya tentang bagaimana seorang pemain bola berbakat yang moncer tapi sekaligus terkunci dalam iklim sepakbola yang begitu-begitu saja.
Adjat (pemain penting dari kesebelasan yang saya dukung) dan Ribut Waidi (pemain pertama yang membuat saya ingin mempunyai baju timnas Indonesia dan kemudian terealisasi berkat kebaikan bapak) lebih menyerupai sebuah kultus dalam ingatan saya. Tak banyak yang bisa diotak-atik dari sebuah kultus. Sedangkan Kurniawan mewakili kelabilan seorang remaja yang mudah jatuh hati, kendati hingga kini saya masih mengakui Kurniawan sebagai striker Indonesia paling mematikan yang pernah saya lihat.
Akal Sehat dalam Tiga Kejadian Bersama Boaz
NegNesian.com,- Kita bisa berdebat dalam banyak hal, tapi agaknya kita bisa dengan mudah membuat kesepakatan: Boaz adalah pemain terbaik Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Pencapaiannya tak ada yang menyamai: empat gelar juara Liga Indonesia, satu gelar juara Pekan Olahraga Nasional (2004), tiga kali menjadi top skor Liga Indonesia, menjadi pemain terbaik Liga Indonesia (2013),�sekali menjadi top skor Pekan Olahraga Nasional (PON), belum terhitung capaian-capaian minor seperti tiga kali menjadi runner-up Piala Indonesia, sekali meraih juara Community Shield yang mempertemukan juara Liga dan juara Piala Indonesia (2009).
Tulisan ini dibuat sebagai kado ulang tahun untuk Boaz Solossa yang hari ini, 16 Maret 2015, tepat berusia 29 tahun.
Boaz adalah sedikit pemain Indonesia yang mencuat sejak usia muda tapi tetap berada di puncak prestasi begitu memasuki fase senior. Top skor PON saat ia berusia 18 tahun dilanjutkan dengan prestasi demi prestasi di level senior. Gelar demi gelar terus ia raih seiring merambatnya usia.
Hebatnya lagi, semua capaian itu ia raih setelah mendapatkan cedera patah kaki. Dua kali ia mendapatkan cedera parah. Pertama pada 2005 saat ditekel oleh Baihakki Kaizan di final Piala Tiger 2005 dan pada 2007 dalam laga persiapan menjelang Piala Asia karena tekel pemain Hongkong di laga ujicoba.
Dua cedera itulah, semuanya mendera saat bermain demi dan atas nama Indonesia, seharusnya bisa menjadi gardu pengingat yang sanggup menahan siapa pun untuk berhati-hati memvonis Boaz sebagai "pemain yang tak becus membela merah putih".
Sepakbola Indonesia akrab dengan cerita tentang bakat besar pemain muda ini dan itu atau kesebelasan ini dan itu tapi kemudian merosot dengan cepat. Dari kesebelasan Primavera hingga Beretti yang berlatih di Italia dan terakhir beberapa generasi SAD yang berkompetisi di Uruguay, dari Kurniawan Dwi Julianto hingga Syamsir Alam -- semua tentang kabar pemain muda yang berbakat namun kemudian meredup cepat tanpa sempat menggapai yang tertinggi dalam hal prestasi.
Boaz memang sama seperti yang lain, dari Bepe hingga Bustomi atau Bejo Sugiantoro hingga M. Roby, yang gagal atau belum memberikan prestasi untuk kesebelasan nasional. Boaz masih punya kesempatan memberikan trofi untuk Indonesia. Tapi sebelum trofi benar-benar datang ke Indonesia, ia masihlah bagian dari sebuah -- meminjam istilahnya Bepe-- "generasi yang gagal".
Tapi ia tak gagal bersama kesebelasan yang diperkuatnya, juga dalam hal pencapaian pribadinya. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, capaian pribadi Boaz bersama Persipura merupakan capaian terhebat yang pernah ditorehkan oleh seorang pemain sepakbola di jagat sepakbola Indonesia abad-20.
Jika Kurniawan adalah pemain yang mencuat saat saya masih remaja, Boaz adalah pemain yang namanya moncer saat saya sudah beranjak dewasa. Jika Adjat Sudradjat dan Ribut Waidi adalah ingatan masa kecil saya tentang pemain hebat Indonesia, sementara Kurniawan adalah ingatan masa remaja saya tentang seperti apa profil idaman pemain Indonesia yang layak diidolakan, maka Boaz adalah kesadaran fase dewasa saya tentang bagaimana seorang pemain bola berbakat yang moncer tapi sekaligus terkunci dalam iklim sepakbola yang begitu-begitu saja.
Adjat (pemain penting dari kesebelasan yang saya dukung) dan Ribut Waidi (pemain pertama yang membuat saya ingin mempunyai baju timnas Indonesia dan kemudian terealisasi berkat kebaikan bapak) lebih menyerupai sebuah kultus dalam ingatan saya. Tak banyak yang bisa diotak-atik dari sebuah kultus. Sedangkan Kurniawan mewakili kelabilan seorang remaja yang mudah jatuh hati, kendati hingga kini saya masih mengakui Kurniawan sebagai striker Indonesia paling mematikan yang pernah saya lihat.
Boaz
adalah satu dari sekian pemain yang pernah mengalami tragedi patah kaki
di lapangan. Simak cerita kami tentang pemain-pemain yang mengalami
patah kaki saat sedang bermain, baik pemain internasional (dari Eduardo
hingga Mattielo) maupun pemain lokal (dari Boaz hingga Bima Sakti):
Tentang Kaki-kaki yang Patah Itu.
Tapi Boaz berbeda. Ia muncul saat saya sudah lebih "tenang" menyikapi sepakbola (termasuk sepakbola Indonesia). Saya sudah lebih matang -- tentu karena ada pengaruh faktor usia, saat itu saya sudah di pertengahan usia 20an. Boaz muncul ketika saya sudah tidak terlalu banyak menaruh harapan setinggi bintang kepada sepakbola Indonesia. Dan karena itulah, bagi saya, Boaz mewakili sebuah fase dalam hidup saya ketika akal sehat�sudah mulai menggantikan emosi jiwa yang dulunya berkobar-kobar terhadap Indonesia dan sepakbolanya.
Tentu saja saya sedih tak terkira saat Firman Utina gagal mengeksekusi tendangan penalti di laga kedua final Piala AFF 2010, kegagalan yang membuat saya sudah membuang jauh-jauh harapan melihat Indonesia meraih trofi Piala AFF bahkan sebelum babak pertama selesai. Tentu saja saya agak mbrebes mili ketika sepakan Ferdinan Sinaga gagal menembus gawang Malaysia yang dijaga Khairul Fahmi di fase adu penalti dalam final Sea Games 2011.
Tapi kesedihan dan mbrebes mili itu bukan karena saya menaruh harapan yang sangat tinggi, melainkan sebentuk harapan yang wajar dibayangkan saat kesebelasan yang kita dukung sudah berada di laga puncak. Di ujung sebuah perjalanan, ketika tanah yang dijanjikan sudah terlihat di pelupuk mata, amat bisa dimengerti jika emosi mendadak agak bergetar dan harapan begitu saja berkibar.
Akal sehat itu pula yang membuat saya tak pernah menaruh harapan yang tinggi dan beban yang berat di pundak Boaz. Akal sehat itu pula yang membuat saya dengan sangat gampang memahami kenapa dan mengapa Boaz beberapa kali bermasalah dengan kesebelasan nasional. Akal sehat pula, tentu diperkaya dengan perspektif politik yang saya pelajari tentang apa yang terjadi di Papua, yang membuat saya bisa dengan mudah mengerti kenapa dan mengapa Boaz seperti bermain lebih penuh hasrat saat memperkuat Persipura -- walau saya juga tahu Boaz selalu all out tiap kali ia memutuskan memenuhi panggilan timnas.
Dan sebagai bagian tak terpisahkan dari akal sehat saya dalam memandang dan menyikapi sepakbola Indonesia, saya dan Boaz terikat oleh sebuah ingatan dan kenangan yang bisa jadi tak mungkin akan saya lupakan. Ingatan dan kenangan itu tertanam dalam tiga peristiwa yang berbeda. Apa saja tiga peristiwa itu?
Tentang Kaki-kaki yang Patah Itu.
Tapi Boaz berbeda. Ia muncul saat saya sudah lebih "tenang" menyikapi sepakbola (termasuk sepakbola Indonesia). Saya sudah lebih matang -- tentu karena ada pengaruh faktor usia, saat itu saya sudah di pertengahan usia 20an. Boaz muncul ketika saya sudah tidak terlalu banyak menaruh harapan setinggi bintang kepada sepakbola Indonesia. Dan karena itulah, bagi saya, Boaz mewakili sebuah fase dalam hidup saya ketika akal sehat�sudah mulai menggantikan emosi jiwa yang dulunya berkobar-kobar terhadap Indonesia dan sepakbolanya.
Tentu saja saya sedih tak terkira saat Firman Utina gagal mengeksekusi tendangan penalti di laga kedua final Piala AFF 2010, kegagalan yang membuat saya sudah membuang jauh-jauh harapan melihat Indonesia meraih trofi Piala AFF bahkan sebelum babak pertama selesai. Tentu saja saya agak mbrebes mili ketika sepakan Ferdinan Sinaga gagal menembus gawang Malaysia yang dijaga Khairul Fahmi di fase adu penalti dalam final Sea Games 2011.
Tapi kesedihan dan mbrebes mili itu bukan karena saya menaruh harapan yang sangat tinggi, melainkan sebentuk harapan yang wajar dibayangkan saat kesebelasan yang kita dukung sudah berada di laga puncak. Di ujung sebuah perjalanan, ketika tanah yang dijanjikan sudah terlihat di pelupuk mata, amat bisa dimengerti jika emosi mendadak agak bergetar dan harapan begitu saja berkibar.
Akal sehat itu pula yang membuat saya tak pernah menaruh harapan yang tinggi dan beban yang berat di pundak Boaz. Akal sehat itu pula yang membuat saya dengan sangat gampang memahami kenapa dan mengapa Boaz beberapa kali bermasalah dengan kesebelasan nasional. Akal sehat pula, tentu diperkaya dengan perspektif politik yang saya pelajari tentang apa yang terjadi di Papua, yang membuat saya bisa dengan mudah mengerti kenapa dan mengapa Boaz seperti bermain lebih penuh hasrat saat memperkuat Persipura -- walau saya juga tahu Boaz selalu all out tiap kali ia memutuskan memenuhi panggilan timnas.
Dan sebagai bagian tak terpisahkan dari akal sehat saya dalam memandang dan menyikapi sepakbola Indonesia, saya dan Boaz terikat oleh sebuah ingatan dan kenangan yang bisa jadi tak mungkin akan saya lupakan. Ingatan dan kenangan itu tertanam dalam tiga peristiwa yang berbeda. Apa saja tiga peristiwa itu?
Ini merupakan halaman kedua dari esai Akal Sehat dalam Tiga Kejadian Bersama Boaz
Akal sehat dalam debut Boaz bersama Merah Putih
Saya ada di Gelora Bung Karno ketika Boaz melakoni debutnya bersama kesebelasan nasional. 12 Oktober 2004, Boaz turun sejak menit pertama saat Indonesia menjamu Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia 2006.
Entah ide apa yang merasuki Peter Withe, orang Inggris yang saat itu melatih Indonesia, yang memutuskan dengan berani menurunkan Boaz Solossa di kesebelasan nasional senior di laga penting dan jelas tidak mudah (siapa yang akan bilang Arab Saudi sebagai lawan mudah?). Boaz saat itu baru berusia 18 tahun, masih bocah ingusan. Dan lebih dari sekadar bocah ingusan, Boaz saat itu belum punya pengalaman bermain di level senior di tengah kompetisi tertinggi tanah air.
Ya, Boaz saat itu mencuat namanya sebagai pemain terbaik dan top skor Pekan Olahraga Nasional 2004 yang berlangsung di Sumatera Selatan. Boaz bahkan belum memperkuat Persipura. Sekali pun belum pernah. Tepat satu dekade kemudian, Evan Dimas melakukannya lagi: tak pernah tampil di laga resmi dalam kompetisi tertinggi Indonesia bersama kesebelasan senior (Persebaya), hanya latihan dan ujicoba, Evan tampil bersama kesebelasan senior Indonesia di bawah arahan Riedl jelang Piala AFF 2014 yang hasilnya luluh lantak itu.
Barulah setengah tahun setelah debut di GBK itu, tepatnya lima bulan, pada 5 Maret 2005, Boaz baru mencicipi iklim kompetisi tertinggi di tanah air. Hari itu, Boaz diturunkan oleh Persipura di laga pembuka Liga Indonesia musim 2005 kala menghadapi Persegi Gianyar.
Akal sehat dalam debut Boaz bersama Merah Putih
Saya ada di Gelora Bung Karno ketika Boaz melakoni debutnya bersama kesebelasan nasional. 12 Oktober 2004, Boaz turun sejak menit pertama saat Indonesia menjamu Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia 2006.
Entah ide apa yang merasuki Peter Withe, orang Inggris yang saat itu melatih Indonesia, yang memutuskan dengan berani menurunkan Boaz Solossa di kesebelasan nasional senior di laga penting dan jelas tidak mudah (siapa yang akan bilang Arab Saudi sebagai lawan mudah?). Boaz saat itu baru berusia 18 tahun, masih bocah ingusan. Dan lebih dari sekadar bocah ingusan, Boaz saat itu belum punya pengalaman bermain di level senior di tengah kompetisi tertinggi tanah air.
Ya, Boaz saat itu mencuat namanya sebagai pemain terbaik dan top skor Pekan Olahraga Nasional 2004 yang berlangsung di Sumatera Selatan. Boaz bahkan belum memperkuat Persipura. Sekali pun belum pernah. Tepat satu dekade kemudian, Evan Dimas melakukannya lagi: tak pernah tampil di laga resmi dalam kompetisi tertinggi Indonesia bersama kesebelasan senior (Persebaya), hanya latihan dan ujicoba, Evan tampil bersama kesebelasan senior Indonesia di bawah arahan Riedl jelang Piala AFF 2014 yang hasilnya luluh lantak itu.
Barulah setengah tahun setelah debut di GBK itu, tepatnya lima bulan, pada 5 Maret 2005, Boaz baru mencicipi iklim kompetisi tertinggi di tanah air. Hari itu, Boaz diturunkan oleh Persipura di laga pembuka Liga Indonesia musim 2005 kala menghadapi Persegi Gianyar.
Tapi
Boaz memperlihatkan betapa dirinya sudah sangat layak bermain bersama
Ellie Aiboy atau Ponaryo Astaman. Diturunkan untuk beroperasi di sisi
kiri, dalam formasi dasar 4-3-3, Boaz berkali-kali membelah sisi kanan
pertahanan Arab Saudi dengan kecepatan tinggi dan dribling-nya yang
liat. Bahu membahu dengan abangnya, Ortizan Solossa, yang ditempatkan di
posisi fullback kiri, Boaz membuat Arab Saudi tak nyaman meninggalkan
sisi kanan pertahanannya.
Atmosfir di GBK saat itu tidak terlalu ramai. Kalau saya tak salah ingat, suporter yang hadir tidak lebih dari 30% kapasitas stadion. Terhitung sepi, dan menjadi terasa makin sepi karena ukuran GBK yang besar dengan atap-atapnya yang tinggi. Tapi atmosfir stadion terasa menghangat tiap kali Boaz menerima bola di sisi kiri penyerangan.
Awalnya, tak banyak yang mengetahui Boaz. Tentu saja ada beberapa orang yang sudah mendengar nama Boaz karena capaian yang diraihnya di PON 2004 sebulan sebelumnya. Beberapa surat kabat juga memberi porsi yang lumayan saat Boaz dipanggil Withe. Tapi hampir bisa dipastikan hanya sedikit yang pernah benar-benar melihat bagaimana Boaz bermain dan hari itu menjadi hari pertama kami menyaksikan seorang bocah dengan badan yang terlihat agak ringkih sedang mulai menorehkan kalimat pertama dalam buku sejarah sepakbola Indonesia.
Kami tak banyak berharap, tepatnya saya tak banyak berharap, karena apa yang bisa diharapkan saat Indonesia menghadapi Arab Saudi? Lagi pula, Indonesia sudah tertinggal 1-0 di menit 8 karena kecerobohan Ismet Sofyan yang tak bisa mengantisipasi seorang pemain Arab Saudi. Kesuraman bertambah empat menit kemudian, pada menit 12, ketika Arab Saudi memperbesar keunggulan. Kesialan bertambah, jelang turun minum, karena Ismed Sofyan harus keluar lapangan karena diusir wasit menyusul pelanggaran keras.
Apa yang bisa diharapkan saat menghadapi Arab Saudi, tertinggal 0-2, dan mesti bermain 10 orang? Semua orang yang ada di GBK, kendati mungkin ada di antaranya yang menyaksikan keajaiban Man United saat mencetak dua gol di injury time di final Liga Champions 1999 sekali pun, niscaya tak akan banyak berharap.
Tapi justru dalam situasi 10 pemain itulah Boaz memperlihatkan mutunya. Mungkin karena merasa sudah unggul dalam urusan mencetak gol dan jumlah pemain, Arab Saudi bermain lebih berani, sehingga ada banyak ruang-ruang yang menganga di pertahanan Arab. Dan dari situlah Boaz mengobrak-abrik pertahanan Arab Saudi.
Dalam catatan saya, Boaz setidaknya berhasil empat kali melepaskan diri dari kawalan pemain Arab, dan dari situlah ia mengirimkan umpan-umpan silang yang sangat berbahaya. Satu umpan silang yang sangat matang ia buat di akhir babak pertama, namun sayang gagal dimanfaatkan Ilham Djayakesuma. Satu umpan silangnya yang lain, di awal babak kedua, sangat akurat mengarah kepada Ilham dan kali ini dia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Gol. 1-2.
Pertandingan seakan baru saja dimulai kembali. Untuk pertama kalinya Arab Saudi�menyadari ada yang "tak beres" dengan sisi kiri penyerangan Indonesia. Dan bagi kami yang ada di tribun penonton, rasanya ada yang berbiak dalam hati tiap kali Ponaryo atau Ortizan mengirimkan umpan panjang ke sisi kiri penyerangan. Rasanya, ada sesuatu yang bisa agak sedikit diharapkan tiap kali bola berhasil dikejar oleh si bocah ingusan asal Papua itu.
Saya masih ingat, ada satu momen di mana Boaz lagi-lagi berhasil mengelabui pemain Arab Saudi, dan kemudian bersicepat dengan lawan hingga ujung lapangan dan kemudian mengirimkan umpan silang. Lagi-lagi akurat. Kurniawan yang masuk menggantikan Ilham menerima umpan silang itu, tapi sayang sekali Kurniawan gagal mengubah umpan itu menjadi gol (saya lupa itu sundulan atau tendangan).
Ah, andai saja itu jadi gol! Betapa kami mungkin akan berdiri dan berteriak dan saya -- seperti biasanya jika adrenalin sudah terpacu-- akan berlari turun ke bagian bawah untuk menggoyang-goyangkan pagar pembatas sembari berteriak.
Tapi, tentu saja, tak ada pengandaian dalam sejarah. Dan, memang, tidak banyak yang bisa dilakukan saat menghadapi Arab Saudi dengan 10 pemain. Di menit 80, Arab berhasil mencetak gol lagi. 1-3. Atmosfir stadion kemudian agak meredup, dan -- seingat saya-- determinasi Boaz kemudian menurun di sisa 10 menit terakhir.
Saya keluar dari stadion dengan hati yang biasa saja, tapi sejak itu saya tahu bahwa ada satu nama yang kelewatan jika diabaikan: Boaz Solossa. Saya menuju tempat saya bekerja, sebuah galeri seni rupa di Jakarta Pusat, dengan pikiran yang jernih: memang kelewatan mengabaikan Boaz, tapi saya tahu tak mungkin berharap banyak pada dia seorang sebab sepakbola adalah dimainkan sebelas lawan sebelas.
Saya ingat pelanggaran Ismed yang membuatnya diusir dari lapangan. Pelanggaran yang tak perlu. Dan mengingat pelanggaran macam itu, saya harus tahu diri: pelanggaran Ismed itulah cermin sepakbola Indonesia, bukan Boaz, sebab Boaz hanyalah sebuah pengecualian.
Di titik itu, akal sehat yang akhirnya memutuskan. Boaz, dengan demikian, sekali lagi, ialah batu tapal kematangan saya dalam memahami sepakbola Indonesia. (Admin)
Atmosfir di GBK saat itu tidak terlalu ramai. Kalau saya tak salah ingat, suporter yang hadir tidak lebih dari 30% kapasitas stadion. Terhitung sepi, dan menjadi terasa makin sepi karena ukuran GBK yang besar dengan atap-atapnya yang tinggi. Tapi atmosfir stadion terasa menghangat tiap kali Boaz menerima bola di sisi kiri penyerangan.
Awalnya, tak banyak yang mengetahui Boaz. Tentu saja ada beberapa orang yang sudah mendengar nama Boaz karena capaian yang diraihnya di PON 2004 sebulan sebelumnya. Beberapa surat kabat juga memberi porsi yang lumayan saat Boaz dipanggil Withe. Tapi hampir bisa dipastikan hanya sedikit yang pernah benar-benar melihat bagaimana Boaz bermain dan hari itu menjadi hari pertama kami menyaksikan seorang bocah dengan badan yang terlihat agak ringkih sedang mulai menorehkan kalimat pertama dalam buku sejarah sepakbola Indonesia.
Kami tak banyak berharap, tepatnya saya tak banyak berharap, karena apa yang bisa diharapkan saat Indonesia menghadapi Arab Saudi? Lagi pula, Indonesia sudah tertinggal 1-0 di menit 8 karena kecerobohan Ismet Sofyan yang tak bisa mengantisipasi seorang pemain Arab Saudi. Kesuraman bertambah empat menit kemudian, pada menit 12, ketika Arab Saudi memperbesar keunggulan. Kesialan bertambah, jelang turun minum, karena Ismed Sofyan harus keluar lapangan karena diusir wasit menyusul pelanggaran keras.
Apa yang bisa diharapkan saat menghadapi Arab Saudi, tertinggal 0-2, dan mesti bermain 10 orang? Semua orang yang ada di GBK, kendati mungkin ada di antaranya yang menyaksikan keajaiban Man United saat mencetak dua gol di injury time di final Liga Champions 1999 sekali pun, niscaya tak akan banyak berharap.
Tapi justru dalam situasi 10 pemain itulah Boaz memperlihatkan mutunya. Mungkin karena merasa sudah unggul dalam urusan mencetak gol dan jumlah pemain, Arab Saudi bermain lebih berani, sehingga ada banyak ruang-ruang yang menganga di pertahanan Arab. Dan dari situlah Boaz mengobrak-abrik pertahanan Arab Saudi.
Dalam catatan saya, Boaz setidaknya berhasil empat kali melepaskan diri dari kawalan pemain Arab, dan dari situlah ia mengirimkan umpan-umpan silang yang sangat berbahaya. Satu umpan silang yang sangat matang ia buat di akhir babak pertama, namun sayang gagal dimanfaatkan Ilham Djayakesuma. Satu umpan silangnya yang lain, di awal babak kedua, sangat akurat mengarah kepada Ilham dan kali ini dia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Gol. 1-2.
Pertandingan seakan baru saja dimulai kembali. Untuk pertama kalinya Arab Saudi�menyadari ada yang "tak beres" dengan sisi kiri penyerangan Indonesia. Dan bagi kami yang ada di tribun penonton, rasanya ada yang berbiak dalam hati tiap kali Ponaryo atau Ortizan mengirimkan umpan panjang ke sisi kiri penyerangan. Rasanya, ada sesuatu yang bisa agak sedikit diharapkan tiap kali bola berhasil dikejar oleh si bocah ingusan asal Papua itu.
Saya masih ingat, ada satu momen di mana Boaz lagi-lagi berhasil mengelabui pemain Arab Saudi, dan kemudian bersicepat dengan lawan hingga ujung lapangan dan kemudian mengirimkan umpan silang. Lagi-lagi akurat. Kurniawan yang masuk menggantikan Ilham menerima umpan silang itu, tapi sayang sekali Kurniawan gagal mengubah umpan itu menjadi gol (saya lupa itu sundulan atau tendangan).
Ah, andai saja itu jadi gol! Betapa kami mungkin akan berdiri dan berteriak dan saya -- seperti biasanya jika adrenalin sudah terpacu-- akan berlari turun ke bagian bawah untuk menggoyang-goyangkan pagar pembatas sembari berteriak.
Tapi, tentu saja, tak ada pengandaian dalam sejarah. Dan, memang, tidak banyak yang bisa dilakukan saat menghadapi Arab Saudi dengan 10 pemain. Di menit 80, Arab berhasil mencetak gol lagi. 1-3. Atmosfir stadion kemudian agak meredup, dan -- seingat saya-- determinasi Boaz kemudian menurun di sisa 10 menit terakhir.
Saya keluar dari stadion dengan hati yang biasa saja, tapi sejak itu saya tahu bahwa ada satu nama yang kelewatan jika diabaikan: Boaz Solossa. Saya menuju tempat saya bekerja, sebuah galeri seni rupa di Jakarta Pusat, dengan pikiran yang jernih: memang kelewatan mengabaikan Boaz, tapi saya tahu tak mungkin berharap banyak pada dia seorang sebab sepakbola adalah dimainkan sebelas lawan sebelas.
Saya ingat pelanggaran Ismed yang membuatnya diusir dari lapangan. Pelanggaran yang tak perlu. Dan mengingat pelanggaran macam itu, saya harus tahu diri: pelanggaran Ismed itulah cermin sepakbola Indonesia, bukan Boaz, sebab Boaz hanyalah sebuah pengecualian.
Di titik itu, akal sehat yang akhirnya memutuskan. Boaz, dengan demikian, sekali lagi, ialah batu tapal kematangan saya dalam memahami sepakbola Indonesia. (Admin)
0 komentar: